PANGLIMA BESAR JENDRAL
SOEDIRMAN
Jenderal
Besar Raden Soedirman (EYD: Sudirman;
lahir
24 Januari 1916 – meninggal 29 Januari 1950 pada umur 34
tahun adalah seorang perwira tinggi Indonesia pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Menjadi
panglima besar
Tentara Nasional Indonesia pertama,
ia secara luas terus dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan rakyat biasa diPurbalingga, Hindia
Belanda, Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang priyayi.
Setelah keluarganya pindah ke Cilacap pada tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang
siswa rajin; ia sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk mengikuti
program kepanduan yang dijalankan oleh organisasi Islam Muhammadiyah.
Saat di sekolah menengah, Soedirman mulai menunjukkan kemampuannya dalam
memimpin dan berorganisasi, dan dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya
pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja
sebagai seorang guru, dan kemudian menjadi kepala sekolah, di sekolah dasar
Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi
pemimpin Kelompok Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942,
Soedirman tetap mengajar. Pada tahun 1944, ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah
Air (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan
batalion di Banyumas. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama
prajurit melakukan pemberontakan, namun kemudian diasingkan ke Bogor.
Setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedirman
melarikan diri dari pusat penahanan, kemudian pergi ke Jakarta untuk bertemu
dengan Presiden Soekarno. Ia ditugaskan untuk mengawasi proses penyerahan diri
tentara Jepang di
Banyumas, yang dilakukannya setelah mendirikan divisi lokal Badan Keamanan Rakyat. Pasukannya lalu
dijadikan bagian dari Divisi V pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip
Soemohardjo, dan Soedirman bertanggung jawab atas divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam sebuah pemilihan untuk menentukan panglima
besar TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih menjadi panglima besar,
sedangkan Oerip, yang telah aktif di militer sebelum Soedirman lahir, menjadi
kepala staff. Sembari menunggu pengangkatan, Soedirman memerintahkan serangan
terhadap pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini dan penarikan diri tentara Inggris menyebabkan semakin kuatnya
dukungan rakyat terhadap Soedirman, dan ia akhirnya diangkat sebagai panglima
besar pada tanggal 18 Desember. Selama tiga tahun berikutnya, Soedirman menjadi
saksi kegagalan negosiasi dengan tentara kolonial Belanda yang ingin kembali
menjajah Indonesia, yang pertama adalah Perjanjian Linggarjati –yang turut
disusun oleh Soedirman – dan kemudian Perjanjian Renville –yang menyebabkan
Indonesia harus mengembalikan wilayah yang diambilnya dalam Agresi
Militer I kepada Belanda dan penarikan 35.000 tentara
Indonesia. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk upaya kudeta
pada 1948. Ia kemudian menyalahkan peristiwa-peristiwa tersebut
sebagai penyebab penyakit tuberkulosis-nya;
karena infeksi tersebut, paru-paru kanannya dikempeskan pada bulan November
1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa
hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan Agresi
Militer II untuk menduduki Yogyakarta. Di saat
pemimpin-pemimpin politik berlindung di kraton sultan, Soedirman,
beserta sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, melakukan perjalanan ke
arah selatan dan memulai perlawanan gerilyaselama
tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti oleh pasukan Belanda, tetapi Soedirman dan
pasukannya berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, di dekat Gunung Lawu.
Dari tempat ini, ia mampu mengomandoi kegiatan militer di Pulau Jawa, termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.
Ketika Belanda mulai menarik diri, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta
pada bulan Juli 1949. Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap
pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang
diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat kurang
lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Semaki,
Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh
rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul
untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh
rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan esprit de
corps bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang
100-kilometer (62 mil) yang ditempuhnya harus diikuti oleh taruna Indonesia
sebelum lulus dari Akademi Militer. Soedirman ditampilkan dalam
uang kertas rupiah keluaran
1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum,
dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
RIWAYAT
HIDUP JENDRAL SOEDIRMAN
Soedirman lahir dari pasangan Karsid
Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang
bernama Tarsem di Rembang, Bodas Karang jati, Purbalingga, Hindia
Belanda. Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo. Menurut
catatan keluarga, Soedirman –dinamai oleh pamannya –lahir pada Minggu pon di bulan Maulud
dalam penanggalan Jawa; pemerintah Indonesia kemudian
menetapkan 24 Januari 1916 sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi
keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik, ia mengadopsi Soedirman dan memberinya
gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku Jawa.
Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai
ia berusia 18 tahun. Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir
1916, Soedirman ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap.
Di tempat inilah ia tumbuh besar. Di Cilacap, Karsid dan Siyem memiliki
seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid meninggal dunia saat
Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya pada saudara
iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita
kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama priyayi, serta
etos kerja dan kesederhanaan wong cilik,
atau rakyat jelata. Untuk pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di
bawah bimbingan Kyai Haji Qahar; Soedirman
adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat
waktu. Ia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Saat
berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di sekolah pribumi (hollandsch
inlandsche school). Meskipun hidup berkecukupan, keluarga Soedirman
bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin
jahit Singer.
Pada tahun kelimanya bersekolah,
Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang
diterimanya di sekolah milik pemerintah; permintaan ini awalnya ditolak,
namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa pada
tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah
Menengah Wirotomo setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi
Sekolah Liar karena diketahui tidak terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman
di Wirotomo adalah nasionalis Indonesia, yang
turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman
belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa
Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua di saat kelas masih
mempelajari pelajaran tingkat satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi
Jawa, Soedirman sangat pintar dalam pelajaran matematika, ilmu alam,
dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia. Soedirman juga menjadi
semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden Muhammad Kholil.
Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam
beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain. Selain
belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik
sekolah dan bergabung dengan timsepak bola sebagai bek. Kematian
Cokrosunaryo pada tahun 1934 menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia
tetap diizinkan untuk melanjutkan sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus
pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman mencurahkan
lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan
doa. Pada usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktek di Wirotomo.
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman
adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik. Ia
membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah.
Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari
Wirotomo; tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan
kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa
kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh
Jawa. Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan tentang sejarah
Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia
berlakukan disiplin militer.
Mengajar
Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman
belajar selama satu tahun di Kweekschool (sekolah
guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta,
tetapi berhenti karena kekuarangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap
untuk mengajar di sebuah sekolah dasar Muhammadiyah, setelah dilatih oleh
guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama, Soedirman menikahi Alfiah,
mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik kaya bernama
Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya
di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan
ini kemudian dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh
Bambang Tjahjadi, dan Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi
Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti Satyaningrum.
Sebagai guru, Soedirman mengajarkan
murid-muridnya pelajaran moral dengan menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah
seorang muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar
yang akan mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini
membuatnya populer di kalangan muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman
tetap mengajar dengan giat. Akibatnya, dalam beberapa tahun Soedirman diangkat
menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki ijazah guru. Sebagai
hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden menjadi dua belas setengah
gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan berbagai tugas-tugas
administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang berseteru.
Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin yang
moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana,
baik untuk kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga
terus bergiat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini,
ia dikenal sebagai negosiator dan mediator yang lugas, berupaya untuk
memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di
masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda
Muhammadiyah Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia
memfasilitasi seluruh kegiatan dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang
agama ataupun sekuler. Ia kemudian mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda
di Jawa Tengah dan
menghabiskan sebagian besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan
berdakwah, dengan penekanan pada kesadaran diri. Alfiah juga aktif dalam
kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul Aisyiyah
Ketika Perang Dunia
II pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah
bergerak mendekati Cina daratan, akan berupaya menginvasi Hindia. Sebagai
tanggapan, pemerintah kolonial Belanda –yang sebelumnya membatasi
pelatihan militer bagi pribumi – mulai mengajari rakyat cara-cara
menghadapi serangan udara. Menindaklanjuti hal ini,
Belanda kemudian membentuk tim Persiapan Serangan Udara. Soedirman, yang
disegani oleh masyarakat, diminta untuk memimpin tim di Cilacap. Selain
mengajari warga setempat mengenai prosedur keselamatan untuk menghadapi
serangan udara, Soedirman juga mendirikan pos pemantau di seluruh daerah. Ia
dan Belanda juga menangani pesawat udara yang menjatuhkan material untuk
mensimulasikan pengeboman; hal ini bertujuan untuk mempertinggi tingkat respon.
Jepang mulai menduduki Hindia pada
awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan
tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL)
yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer dan Jenderal KNIL Hein ter
Poorten menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis
dalam pemerintahan nusantara dan dan semakin memperburuk kualitas hidup warga
non-Jepang di Hindia, banyak masyarakat pribumi yang menderita dan mengalami
pelanggaran hak asasi manusia di tangan Jepang. Di Cilacap, sekolah tempat
Soedirman mengajar ditutup dan dialih fungsikan menjadi pos militer; ini
adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menutup sekolah-sekolah swasta. Setelah
Soedirman berhasil meyakinkan Jepang untuk membuka kembali sekolah, ia dan guru
lainnya terpaksa menggunakan perlengkapan standar. Selama periode ini,
Soedirman juga terlibat dalam beberapa organisasi sosial dan kemanusiaan,
termasuk sebagai ketua Koperasi Bangsa Indonesia. Hal ini membuatnya
semakin dihormati di kalangan masyarakat Cilacap.
Pada awal 1944, setelah menjabat selama
satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang
(Syu Sangikai), Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah
Air (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943
untuk membantu menghalau invasi Sekutu, dan berfokus dalam merekrut
para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda. Meskipun
sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih
remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di Bogor, Jawa Barat.
Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan
(daidanco) dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di
Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna
dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan
pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah,
tidak jauh dari Cilacap.
Jabatan Soedirman sebagai komandan PETA
berlalu tanpa banyak peristiwa hingga tanggal 21 April 1945, ketika tentara
PETA di bawah komando Kusaeri mulai melancarkan pemberontakan terhadap Jepang.
Diperintahkan untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Soedirman setuju untuk
melakukannya dengan syarat agar pemberontak PETA tidak dibunuh, dan lokasi
persembunyian mereka tidak dimusnahkan; syarat ini diterima oleh komandan
Jepang, dan Soedirman beserta pasukannya mulai mencari para pemberontak.
Meskipun anak buah Kusaeri berhasil menembak komandan Jepang, Soedirman melalui
pengeras suara mengumumkan bahwa mereka tidak akan dibunuh, dan para pemberontak
pun mundur. Kusaeri menyerah pada tanggal 25 April Peristiwa ini
meningkatkan dukungan terhadap Soedirman di kalangan tentara Jepang, meskipun
beberapa perwira tinggi Jepang menyatakan keprihatinannya atas dukungan
Soedirman bagi kemerdekaan Indonesia. Soedirman dan anak buahnya kemudian
dikirim ke sebuah kamp di Bogor dengan alasan akan dilatih; namun sebenarnya
mereka dipekerjakan sebagai pekerja kasar dalam upaya untuk mencegah
pemberontakan lebih lanjut, dan desas-desus mengatakan bahwa perwira PETA akan
dibunuh.
Jendral
Soedirman Pada Masa Revolusi Nasional
Setelah berita tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mencapai
Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus, kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin
pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin
menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan
yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menujuJakarta dan
bertemu dengan Presiden Soekarno, yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap
pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta,
Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya.
Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945. Di
saat yang bersamaan, pasukan Sekutu sedang dalam proses merebut kembali
kepulauan Indonesia untuk Belanda, tentara Inggris pertama kali tiba pada
tanggal 8 September 1945.
Pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk
tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan
tersebut adalah Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR
merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula
bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan
(BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan
anggota-anggota tentara PETA dan Heihō. Pada tanggal
18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung
mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP. Pembentukan BKR
merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang
telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR ini berfungsi sebagai
organisasi kepolisian, terutama karena pemimpin politik saat itu yang
berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan
internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang
melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan
tentara Jepang yang masih ada di nusantara.
Soedirman dan beberapa rekannya sesama
tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah
sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah
dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura,
dan Residen Banyumas,
Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan
diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia
bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan
oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan
senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.
Sebagai negara yang baru merdeka dan
belum memiliki militer yang professional, pada tanggal 5 Oktober 1945 Soekarno
mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR,
sekarang dikenal dengan Tentara Nasional Indonesia). Sebagian besar personilnya
adalah mantan tentara KNIL, sedangkan perwira tinggi berasal dari PETA dan
Heihō. Dekrit mengangkat Soeprijadi sebagai
Panglima Besar TKR, namun ia tidak muncul, dan kepala staff Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjoditetapkan sebagai pemimpin
sementara. Pada bulan Oktober, pasukan Inggris, yang bertugas melucuti
senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan
perangBelanda, tiba di Semarang,
dan kemudian bergerak menuju Magelang.
Ketika Inggris mulai mempersenjatai kembali tentara Belanda yang menjadi
tawanan perang dan sepertinya sedang mempersiapkan sebuah pangkalan militer di
Magelang, Soedirman –yang sekarang menjadi kolonel – mengirim
beberapa pasukannya di bawah pimpinan Letnan Kolonel Isdiman untuk mengusir
mereka; misi ini berhasil, dan tentara Eropa menarik diri dari Ambarawa,
di tengah-tengah Magelang dan Semarang.[60] Pada
20 Oktober, Soedirman membawahi Divisi V setelah Oerip membagi Pulau Jawa
menjadi divisi militer yang berbeda.
Pada tanggal 12 November 1945, dalam
pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui
pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21
suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi Sumatera semuanya
memilih Soedirman. Soedirman, yang saat itu berusia 29 tahun, terkejut atas
hasil pemilihan dan menawarkan diri untuk melepas posisi tersebut kepada Oerip,
namun para peserta rapat tidak mengizinkannya. Oerip, yang telah kehilangan
kendali dalam pertemuan bahkan sebelum pemungutan suara dimulai, merasa senang
karena tidak lagi bertanggung jawab atas TKR. Soedirman tetap menunjuk Oerip
sebagai kepala staff. Sesuai dengan jabatan barunya, Soedirman dipromosikan
menjadi Jenderal. Setelah pertemuan, Soedirman kembali ke Banyumas sembari
menunggu persetujuan pemerintah dan mulai mengembangkan strategi mengenai
bagaimana mengusir tentara Sekutu. Rakyat Indonesia khawatir bahwa Belanda,
yang diboncengi oleh Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), akan
berupaya untuk merebut kembali nusantara. Tentara gabungan Belanda-Inggris
telah mendarat di Jawa pada bulan September, dan pertempuran besar telah terjadi di Surabaya pada
akhir Oktober dan awal November. Ketidakstabilan ini, serta keraguan Soekarno
atas kualifikasi Soedirman, menyebabkan terlambatnya pengangkatan Soedirman
sebagai pemimpin TKR.
Sambil menunggu pengangkatan, pada
akhir November Soedirman memerintahkan Divisi V untuk menyerang pasukan Sekutu
di Ambarawa, sekali lagi dikomandoi oleh Isdiman; kota itu dianggap penting
secara strategis karena memiliki barak militer dan fasilitas pelatihan yang
sudah ada sejak zaman penjajahan. Serangan ini dilumpuhkan oleh serangan udara
dan tank-tank Sekutu, yang memaksa divisi untuk mundur, Isdiman sendiri tewas
dalam pertempuran, terbunuh oleh pemberondong P-51 Mustang. Soedirman
kemudian memimpin Divisi dalam serangan lain terhadap pasukan Sekutu; tentara
Indonesia dipersenjatai dengan berbagai senjata, mulai dari bambu runcing dan katana sitaan
sebagai senjata, sedangkan tentara Inggris dipersenjatai dengan peralatan
modern. Soedirman memimpin di barisan depan sambil memegang sebuah katana. Sekutu,
yang fasilitas serangan udaranya telah musnah saat tentara gerilya menyerang
Lapangan Udara Kalibanteng di Semarang, berhasil dipukul mundur dan bersembunyi
di Benteng Willem. Pada 12 Desember, Soedirman memimpin pengepungan empat hari,
yang menyebabkan pasukan Sekutu mundur ke Semarang.
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman
lebih diperhatikan di tingkat nasional, dan membungkam bisik-bisik yang
menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya
pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah. Pada
akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara
kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman
dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945. Posisinya
sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro, dan mulai berfokus
pada masalah-masalah strategis. Hal yang dilakukannya antara lain dengan
membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai
masalah-masalah politik dan militer Oerip sendiri menangani
masalah-masalah militer.
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu
mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan
tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada
militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion pilihan
mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada
Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti
lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI). Pergantian
nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi angkatan laut dan angkatan
udara pada awal 1946. Sementara
itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta –
sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari;
delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir melakukan
negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan
kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil. Pada tanggal 25 Mei, Soedirman
dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan
militer. Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk
melindungi republik "sampai titik darah penghabisan." Menteri
Pertahanan yang berhaluan kiri,Amir
Sjarifuddin, memperoleh kekuasaan yang lebih besar setelah
reorganisasi militer. Ia mulai mengumpulkan para tentara sosialis dan komunis
di bawah kontrolnya, termasuk unit paramiliter (laskar) sayap kiri yang setia
dan didanai oleh berbagai partai politik. Sjarifuddin melembagakan program
pendidikan politik di tubuh angkatan perang, yang bertujuan untuk menyebarkan
ideologi sayap kiri. Memanfaatkan militer sebagai alat manuvering politik tidak
disetujui oleh Soedirman dan Oerip, yang pada saat itu disibukkan dengan
penerapan perlakuan yang sama bagi tentara dari latar belakang militer berbeda. Namun,
rumor yang beredar mengabarkan bahwa Soedirman sedang mempersiapkan sebuah
kudeta; upaya kudeta tersebut terjadi pada awal Juli 1946, dan peran
Soedirman, kalaupun ada, tidak dapat dipastikan. Pada bulan Juli, Soedirman
mengonfirmasi rumor ini melalui pidato yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI),
menyatakan bahwa ia, seperti semua rakyat Indonesia, adalah abdi negara, dan
jika dirinya ditawari jabatan presiden, ia akan menolaknya. Di kemudian
hari, ia menyatakan bahwa militer tidak memiliki tempat dalam politik, begitu
juga sebaliknya.
Negosiasi
dengan Belanda
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha
bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan
mantan Perdana Menteri Belanda, Wim
Schermerhorn, sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan
ini dimoderatori oleh diplomat Inggris Lord Killearn,
dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan
kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke
Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengijinkan dirinya dan anak buahnya
memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut
melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa
peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta
lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di Stasiun
Gambir pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh
kerumunan besar. Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan Perjanjian Linggarjati pada tanggal
15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang
oleh para nasionalis Indonesia. Soedirman secara lantang juga menentang
perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan
kepentingan Indonesia, namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti
perintah.
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif
damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk
mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman
mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada
Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI)
diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar, yang
berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh
partai-partai politik.[97] Namun,
gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan
lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki
wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan Agresi Militer, dan dengan cepat berhasil
menguasai sebagian besar Jawa dan Sumatera. Meskipun demikian, pemerintahan
pusat di Yogyakarta tetap tak tersentuh. Soedirman menyerukan kepada para
tentara untuk melawan dengan menggunakan semboyan "Ibu Pertiwi memanggil!, dan
kemudian menyampaikan beberapa pidato melalui RRI, namun upayanya ini gagal
mendorong tentara untuk berperang melawan Belanda. Terlebih lagi, tentara
Indonesia sedang tidak siap dan pertahanan mereka ditaklukkan dengan cepat.
Garis Van
Mook, wilayah yang dikontrol oleh Indonesia ditandai dengan warna
merah; pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000
tentara dari wilayah taklukan Belanda.
Setelah ditekan oleh PBB, yang memandang
situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakanGaris Van
Mook. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda
dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan. Soedirman
memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan
Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia.
Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan hijrah, merujuk
pada perjalanan nabi Muhammad ke Madinah pada
tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali. Lebih dari 35.000
tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan
menggunakan kereta dan kapal laut. Perbatasan ini diresmikan melalui Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948;
penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada
saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Di saat yang bersamaan,
Sjarifuddin mulai merasionalisasi TNI (Program Re-Ra)
dengan memangkas jumlah pasukan. Pada saat itu, tentara reguler terdiri
dari 350.000 personil, dan lebih dari 470.00 terdapat di laskar
Dengan adanya program ini, pada tanggal
2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun
1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas
Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di
bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar
Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk
pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer
dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat Soerjadi Soerjadarma sebagai Kepala
Staf Angkatan Perang dengan Kolonel T.B.
Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan
Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai
perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan,
sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis
operasional.
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi
di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden
mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang
lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah
Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah
Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu Djenderal
Major[u] A.H. Nasution.
Angkatan perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP)
yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan Laut
(KASAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Dalam penataannya, organisasi
ini dibagi menjadi 2 bagian; penataan kementerian dan pimpinan tertinggi
ditangani oleh KASAP, sementara mengenai pasukan serta daerah-daerah pertahanan
ditangani oleh Wakil Panglima Besar Angkatan Perang.
Tak lama setelah itu, Sjafruddin
digulingkan dalam mosi tidak percaya atas keterlibatannya
dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, Muhammad
Hatta, berupaya untuk menerapkan program rasionalisasi. Hal ini
menimbulkan perdebatan di antara kelompok yang pro dan anti-rasionalisasi.
Soedirman menjadi tempat mengadu dan pendorong semangat bagi para tentara,
termasuk sejumlah komandan senior yang menentang program rasionalisasi.
Soedirman secara resmi dikembalikan ke posisinya pada tanggal 1 Juni 1948.
Untuk menyelesaikan penataan organisasi ini, Soedirman membentuk sebuah panitia
yang anggotanya ditunjuk oleh Panglima sendiri. Anggota panitia terdiri dari
Djenderal Major Susaliy (mantan PETA dan laskar), Djenderal Major Suwardi (mantan KNIL)
dan Djenderal Major A.H. Nasution dari perwira muda. Penataan organisasi TNI
selesai pada akhir tahun 1948, setelah Panglima Tentara dan Teritorium
Sumatera, Kolonel Hidajat Martaatmadja, menyelesaikan
penataan organisasi tentara di Pulau Sumatera.
Setelah program rasionalisasi mereda,
Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari Partai Sosialis, Partai Komunis, dan anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesiauntuk mengobarkan revolusi
proletar di Madiun, Jawa Timur, yang berlangsung pada tanggal 18
September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk
memadamkan revolusi; Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai antena
perdamaian sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, Muso, telah sepakat untuk
berdamai, Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30
September. Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia
mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan
darah yang terjadi
Pemberontakan di Madiun, dan
ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan
Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga,
Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis
mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia
dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan
menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan
menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia
melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan
rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan.
Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di
wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi
kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah
umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution. Soedirman
dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948. mengeluarkan
perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember.
Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan
Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan;[118] ia
juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang
gagal – untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang.[119] Dua
hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian
Renville. Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut
ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil
diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman,
yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan
pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih –
sebagai gerilyawan.
Perintah
Kilat No. 1/PB/D/48
1.
Kita telah diserang.
2.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan
Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3.
Pemerintah Belanda telah membatalkan
persetujuan Gencatan Senjata.
4.
Semua Angkatan Perang menjalankan rencana
yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Pidato radio Soedirman, dari Imran (1980)
Soedirman kemudian mengunjungi Istana
Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan
ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin
menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden
agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini
ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno
untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas
desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap
dan diasingkan.
Jendral
Soedirman Pada Masa Perang Gerilya
Sebelum memulai gerilya, Soedirman
pertama-tama pergi ke rumah dinasnya dan mengumpulkan dokumen-dokumen penting,
lalu membakarnya untuk mencegahnya jatuh ke tangan Belanda. Soedirman, bersama
sekelompok kecil tentara dan dokter pribadinya, mulai bergerak ke arah selatan
menuju Kretek, Parangtritis, Bantul.
Setibanya di sana, mereka disambut oleh bupati pada pukul 18.00. Selama di
Kretek, Soedirman mengutus tentaranya yang menyamar ke kota yang telah diduduki
oleh Belanda untuk melakukan pengintaian, dan meminta istrinya menjual
perhiasannya untuk membantu mendanai gerakan gerilya. Setelah beberapa hari di
Kretek, ia dan kelompoknya melakukan perjalanan ke timur di sepanjang pantai
selatan menuju Wonogiri. Sebelum Belanda menyerang, sudah diputuskan
bahwa Soedirman akan mengontrol para gerilyawan dari Jawa Timur, yang masih
memiliki beberapa pangkalan militer. Sementara itu, Alfiah dan
anak-anaknya diperintahkan untuk tinggal di Kraton. Sadar bahwa Belanda
sedang memburu mereka, pada tanggal 23 Desember Soedirman memerintahkan
pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Ponorogo.
Di sana, mereka berhenti di rumah seorang ulama bernama Mahfuz;
Mahfuz memberi sang jenderal sebuah tongkat untuk membantunya berjalan,
meskipun Soedirman terus dibopong dengan menggunakan tandu di sepanjang
perjalanan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke timur.
Di dekat Trenggalek,
Soedirman dan kelompoknya dihentikan oleh prajurit TNI dari Batalion 102. Para
tentara ini diberitahu bahwa Soedirman –yang saat itu berpakaian sipil dan
dan tidak dikenali oleh tentara yang menghentikan mereka – adalah tahanan
dan menolak untuk melepaskan Soedirman dan kelompoknya; mereka mencurigai
konvoi Soedirman yang membawa peta dan catatan militer Indonesia, benda yang
mungkin dimiliki oleh mata-mata. Ketika sang komandan, Mayor Zainal
Fanani, datang untuk memeriksa keadaan, ia menyadari bahwa orang itu adalah
Soedirman dan segera meminta maaf. Fanani beralasan bahwa tindakan anak buahnya
sudah tepat karena menjaga wilayah dengan saksama. Ia juga menyebutkan tentang
sebuah pos di Kediri dan
menyediakan mobil untuk mengangkut Soedirman dan pasukannya. Setelah beberapa
saat di Kediri, mereka melanjutkan perjalanan lebih jauh ke timur; setelah
mereka meninggalkan kota pada tanggal 24 Desember, Belanda berencana untuk
menyerang Kediri.
Serangan Belanda yang berkelanjutan
menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya
pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki
kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan
bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke
utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil,
dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan
tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri
yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo,
dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo
sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di
Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara
Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan
Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.
Soedirman dan pasukannya terus
melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu,
pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah
radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa
daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk
perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo
aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan
tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai
perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini
internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat
Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai
membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara
itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah
menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat
para gerilyawan.
Soedirman memerintahkan Hutagalung
untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam
akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing
dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya,
Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro,
menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan
agar serangan itu berhasil. Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI
akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando
Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu
enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang
sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda
sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. Namun, siapa tepatnya
yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono
IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini,
sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah
memerintahkan serangan tersebut.
Karena semakin meningkatnya tekanan
dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang
menghasilkan Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian ini
menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta
poin-poin lainnya. Belanda
mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di
pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan
Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Soedirman menolak untuk membiarkan
Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu
sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan
diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali
ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman
baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang
pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan
kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan
diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana. WartawanRosihan Anwar,
yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali
ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin
tertinggi republik".
Jendral
Soedirman Pasca-perang dan
kematian
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati
Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak
percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-Royen, belajar dari
kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan
bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai
penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam
akan mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan
melakukan hal yang sama. Setelah
ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan,
Soedirman tetap menjabat, dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai
diberlakukan pada tanggal 11 Agustus 1949
Soedirman terus berjuang melawan TBC
dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih. Ia menginap di Panti Rapih
menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke
sebuah sanatorium di
dekat Pakem. Akibat
penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik. Ia dipindahkan
ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember. Di saat yang bersamaan,
pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan konferensi panjang selama beberapa bulan yang
berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia pada 27 Desember
1949. Meskipun sedang sakit, Soedirman saat itu juga diangkat sebagai
panglima besar TNI di negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada 28
Desember, Jakarta kembali dijadikan sebagai ibu kota negara.
Soedirman wafat di Magelang pada pukul
18.30 tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran
khusus di RRI Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga
Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang
bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke
Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan delapan
puluh kendaraan bermotor, dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan.
Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.
Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang
dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing,
termasuk Perdana Menteri Abdul Halim, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono
IX, Menteri KesehatanJohannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri
Informasi Arnold Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel
Paku Alam VIII, dan Soeharto. Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24
senjata. Jenazah Soedirman kemudian dibawa ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan
berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat sepanjang 2 kilometer
(1.2 mil) mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip
setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu
diikuti oleh para menteri Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang sebagai tanda
berkabung di seluruh negeri, dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal
penuh. Djenderal
MajorTahi Bonar Simatupang terpilih
sebagai pemimpin angkatan perang yang baru. Memoar
Soedirman diterbitkan pada tahun itu, dan rangkaian pidato-pidatonya juga
diterbitkan pada tahun 1970.
Peninggalan Jendral Soedirman
Makam Soedirman
di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta;
makam ini telah menjadi tujuan para peziarah.
Surat kabar harian Yogyakarta, Kedaulatan
Rakjat, menulis bahwa Indonesia telah kehilangan seorang
"pahlawan yang jujur dan pemberani." Kolonel Paku
Alam VIII, yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta,
mengatakan kepada kantor berita nasional Antara bahwa
seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan
seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air". Tokoh
Muslim Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, menggambarkan sosok Soedirman
sebagai "lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia", sedangkan
politisi Muslim Muhammad Isa Anshary menyatakan bahwa
Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan
dibesarkan oleh revolusi". Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan
bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikontrol dan keras
kepala, tapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta
berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum
tetap mematuhi perintahnya. Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa
tentara terlatih seperti Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar
Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan
teknik militernya yang buruk.
Opini modern yang berkembang di
Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang
profesor sejarah diUniversitas Negeri Yogyakarta, menulis
bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena
pidatonya yang berapi-api, dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa
disuap. Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto menggambarkan
Soedirman sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa
gerilya sang jenderal adalah asal esprit de
corps TNI. Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan
dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang
lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan. Sejak
1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman
sepanjang 100-kilometer (62 mil) sebelum lulus dari Akademi Militer,
bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan. Makam
Soedirman juga menjadi tujuan ziarah, baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum. Menurut
Katharine McGregor dari Universitas Melbourne, militer Indonesia
telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.
Soedirman telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah
pusat secara anumerta, termasuk Bintang Sakti, Bintang
Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna Bintang Mahaputra Pratama Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana Pada
10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui
Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan
Nasional oleh keputusan yang sama Soedirman dipromosikan menjadi Jenderal
Besar pada tahun 1997.
Menurut McGregor, militer memanfaatkan
sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan
politik. Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas rupiah terbitan
1968. Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa
film perang, termasuk Janur Kuning (1979)
dan Serangan Fajar (1982). Terdapat banyak
museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di Purbalingga saat
ini menjadi Museum Soedirman, sedangkan
rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan Museum
Sasmitaloka Jenderal Soedirman. Rumah kelahirannya di Magelang juga
dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan
menyimpan barang-barang milik sang jenderal. Museum lainnya, termasuk Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta
dan Museum Satria Mandala di Jakarta,
memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya. Sejumlah jalan
juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta; McGregor
menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama
Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di
seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970. Universitas Jenderal Soedirman diPurwokerto, Banyumas,
didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar