7 Riwayat Hidup Pahlawan Revolusi
1. Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman
Nama
: Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman
Pangkat :
Mayor Jenderal
Tanggal Lahir : 4 Agustus 1918
Riwayat Hidup : Letjen. Anumerta Siswondo Parman lahir di
Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Dia merupakan salah satu dari tujuh pahlawan
revolusi dan korban kebiadaban PKI. Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah
ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia
PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang
menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan
tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah
menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya,
tentara Jepang telah menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai
berhasil diraihnya.
Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada
Jawatan Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak
lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk
mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia
kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir
bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi
Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang
gerilya. Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur
Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar
rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya
di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia
diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat
untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan
untuk beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada
tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas
sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat
Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis
ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah
terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui
kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani
dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian
besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud
tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.
Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965,
dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada
tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam
perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta
Achmad Yani; Letjen. TNI
Anumerta Suprapto; Letjen. TNI
Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI
Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten
CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara
membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya
tanpa prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila.
Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat
menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk
menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru
ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian
Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya,
Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu
dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut
dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
2. Kapten Peiere Andreas Tandean
Nama
: Kapten Peiere Andreas Tandean
Pangkat
: Ajudan dari Jenderal Besar DR.
A.H. Nasution.
Tanggal
Lahir : 21 Februari 1939
Riwayat Hidup : Kapten
Czi (Anm.) Pierre Andreas Tendean (lahir di Jakarta, 21 Februari 1939 – meninggal
di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 26
tahun) adalah salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan
pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
Beliau adalah ajudan
dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko
Hankam/Kepala Staf ABRI)
pada era Soekarno.
Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas
tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik
dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Pierre adalah pria
blasteran Minahasa - Perancis yang
fasih berbahasa Jawa.
Lulusan ATEKAD tahun 1961 ini
bergabung dengan corps Genie (sekarang corps Zeni) dan posisinya dua tahun
junior di bawah mantan Wapres Try Sutrisno.
Setelah lulus dari
pendidikan militer,
ia langsung mengajukan diri untuk bergabung dengan garis depan dalam peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Wajah
indo-nya membuat Pierre dengan mudah bolak balik Indonesia - Singapura sebagai
intelijen untuk mengumpulkan data. Kurang lebih Pierre berhasil melakukan
infiltrasi sebanyak 6 kali, yang terakhir nyaris membuatnya terbunuh
Saat ini sedang
direncanakan tentang pembuatan film mengenai Pierre Tendean dengan judul Pierre.
3. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto
Nama
: Letnan Jenderal Anumerta
Suprapto
Pangkat
: Panglima Besar Sudirman
Tanggal Lahir
: 20 Juni 1965
Riwayat Hidup : Letnan
Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini
boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar
Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang
Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah
AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun
1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan
dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan
militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak
bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat
di Indonesia.
Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan
diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti
kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan
setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan,
ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut
senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi
anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi
masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah
sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut
menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara
Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman.
Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah
Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas.
Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T)
IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta
menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah
pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf
Angkatan Darat untuk wilayah
Sumatera yang bermarkas
di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar
pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya
menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1
Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto bersama enam perwira
lainnya yakniJend. TNI Anumerta
Achmad Yani; Letjen. TNI
Anumerta S. Parman; Letjen. TNI
Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI
Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten
CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara
membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya
tanpa prikemanusiaan.
R. Suprapto gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila.
Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata.
Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat
menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk
menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru
ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian
Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta
Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar
belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu
Kesaktian Pancasila.
4. Jenderal TNI Anumerta Yani
Nama
: Jenderal TNI Anumerta
Yani
Pangkat
:
Tanggal
Lahir : 19 Juni 1922
Riwayat Hidup
: Jenderal TNI Anumerta AChmad Yani (Purworejo, 19 Juni
1922]]-Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965) adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor,
yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke
MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat
pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua,
sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer
di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir
militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah
pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang
dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani
berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi
Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah
Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi
Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai
Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia
mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah.
Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga
pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia
kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff
College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun
1956, ia juga mengikuti pendidikan
selama dua bulan pada
Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi
di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi
Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan
PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia
menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh
dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI
yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui
Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak
di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya
kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak
di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai
Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu
tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
5. Letnan Jenderal Anumerta M.T.Haryono
Nama : Letnan Jenderal
Anumerta M.T.Haryono
Pangkat : Letnan
Jenderal
Tanggal Lahir : 20
Januari 1924
Riwayat Hidup :
Dikesempatan kali ini, saya kembali ingin memberikan sebuah kisah seorang pahlawan nasional indonesia yang ikut
berjuang melawan penjajahan dalam memerdekakan negara kesatuan republik
indonesia (NKRI) Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di
Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP Kalibata
– Jakarta.
Letjen Anumerta M.T.
Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh
pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS
(setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai
Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak
sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang
mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering
dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian
sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda.
Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan
Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan
Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia
merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
6. Mayor Jenderal Anumerta Donald Isac Panjaitan
Nama : Mayor Jenderal
Anumerta Donald Isac Panjaitan
Pangkat : Pimpinan
Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PPPDRI)
Tanggal Lahir : 9 Juni
1925
Riwayat Hidup : Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah
salah satu pahlawan revolusi terkenal di Indonesia. Meskipun ia meninggal dalam
usia yang masih muda yakni 40 tahun, perjuangan beliau dalam mempertahankan
tanah air sangat patut untuk diacungi jempol. Panjaitan adalah sosok pahlawan yang pernah
mengenyam bangku SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff
College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota
Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabaran sebagai komandan batalyon di
TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi
pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen
Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun berhasil diraihnya ketika Agresi Militer
Belanda ke II terjadi. Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat
kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi Kepala Staf
T&T II/Sriwijaya.
Setelah pulang menuntut ilmu di Amerika
Serikat, Panjaitan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik
Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan .
Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan
aksi pemberontakan.
Aksi Panjaitan atas pembongkaran rahasia PKI
menyulut api kemarahan dari pihak PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok
anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan
berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal.
Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat
Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta. Berkat
keberaniannya membela negara, Panjaitan mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi
oleh pemerintah Indonesia.
7. Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Nama
: Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Pangkat
: Kapten
Tanggal Lahir : 23 Agustus 1922
Riwayat Hidup : Sutoyo
Siswomiharjo dilahirkan di kebumen, pada tanggal 23 Agustus 1922 dan wafat
di Lubang buaya Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 sebagai pahlawan revolusi.
Beliau
menamatkan sekolah HIS di Semarang. Lalu melanjutkan pendidikan ke AMS juga di
Semarang pada tahun 1942. setelah itu beliau mengikuti pendidikan di Balai
Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta.
Sebelum menjadi tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di
Kabupaten Purworejo.
Tugas sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan
1945. Sutoyo menjabat Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara)
Purworejo dengan pangkat Kapten (1946).
Pada bulan Juni tahun 1946, beliau pernah menjadi ajudan colonel
Gatot Soebroto. Kemudian menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta (1948-1949). Pada
tahun 1950 Mayor Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan tahun 1951
Danyon V CPM. Tahun 1954 beliau menjabat Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer.
Mulai tahun 1955 sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat
Letkol hingga tahun 1956. Lalu pada tahun yang sama, beliau diangkat menjadi
Asisten ATMIL di London.
Setelah kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan
Kursus "C" Seskoad tahun 1960. Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi
Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964 dinaikan pangkatnya
menjadi Brigjen.
Sama seperti Achmad Yani, beliau juga menolak pembentukan angkatan
kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dilengkapi dengan senjata.
Tanggal 1 Oktober jam 04.00 dini hari, Brigjen TNI Sutoyo diculik
dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI.. Dengan todongan bayonet, mereka
menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju
kamar tengah. Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi
dan Praka Sumardi masuk ke dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI
Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke
luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo. Dengan diapit
oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar
pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya,
dan disana beliau gugur karena dianiaya di luar batas-batas kemanusiaan oleh
gerombolan G 30 S/PKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar